Pengalaman Kecelakaan di Jepang

sumber: https://i.ytimg.com/vi/XeyeTmF27u4/hqdefault.jpg


Manis pahit hidup di Jepang, penuh hikmah dan banyak belajar

Tahun ini adalah kali pertama merasakan ulangtahun jauh dari rumah, di negara orang, sekaligus juga jadi tahun pertama berulangtahun dengan status istri orang (meskipun suami jauh di Indonesia sana). 6 September 2017, seperti hari-hari biasanya, aku berangkat ke kampus untuk nge-lab. Tidak banyak yang kukerjakan hari itu, beberapa hari sebelumnya medium tempat tumbuh sel terkontaminasi, sehingga aku belum bisa mulai eksperimen. Aku masih harus menumbuhkan sel baru yang harus dirawat selama satu minggu sebelum digunakan untuk eksperimen. Jadi, hari itu aku hanya melakukan perawatan sel (cell maintenance), selebihnya kugunakan untuk belajar santai tentang riset yang kujalani. Beberapa teman lab maupun teman Indonesia yang tidak sengaja berpapasan saat di kampus sempat menyapa ringan, "selamat ulangtahun ya" ataupun "omedeto gozaimasu".

Tepat pukul 5 sore aku berkemas dan berpamitan dengan teman lab untuk pulang sebentar ke apato. Hari itu akan diadakan welcoming party untuk anak-anak lab yang baru saja masuk. Karena ada urusan yang harus kuselesaikan dulu di apato, aku memutuskan untuk pulang.


Perasaan aneh dan ketinggalan bis

Aku janjian dengan Tabuchi di Okaido untuk berjalan kaki menuju tempat party pukul 18.50. Selesai menyelesaikan urusan dan mandi sebentar, aku segera bersiap pergi ke Okaido. Waktu sudah menunjukkan pukul 18.30, entah kenapa ada dorongan yang sangat besar untuk naik bis. Ini tidak biasa karena aku dikenal teman-teman sebagai anak yang gak pernah mau naik bis, lebih memilih ngontel kemana-mana. Tapi entah kenapa, rasanya sangat ingin naik bis. Segera aku pacu sepedaku ke stasiun Kume, tempat pemberhentian bis terdekat dari apatoku.

Aku parkirkan sepedaku di tempat parkir sepeda kemudian berjalan kaki ke arah bis. Baru berjalan beberapa langkah, terdengar pengumuman dari dalam bis bahwa bis akan segera jalan. Aku mencoba berlari, tapi sia-sia. Bis tetap berjalan, tidak memperdulikanku. Ah, iya.... Ini Jepang. Transportasi umum terjadwal dan hampir selalu tepat waktu.

Kulirik jam di dalam stasiun, waktu menunjukkan pukul 18.35. Aku melangkah ke arah papan jadwal bis. Alamak, bis selanjutnya pukul 19.05! Tentu saja aku tidak bisa menunggu bis selanjutnya karena sudah janjian dengan Tabuchi. Setengah berlari aku kembali ke sepedaku dan memacu sepedaku cukup kencang (kondisi jalan menurun sehingga mudah untuk memacu sepeda secara kencang). Beruntung lampu lalu lintas selalu menyala hijau setiap kali akan kulewati, sehingga aku bisa sampai ke lokasi janjian tepat waktu (ya walaupun setelah itu mencari Tabuchi di tengah keramaian orang sulitnya masyaallah dan baru ketemu jam 18.57). Tapi setidaknya, kami tidak terlambat datang ke tempat party.


Kejutan kecil di akhir party

Welcoming party ini diadakan di sebuah restoran tradisional Jepang dengan menu serba sea food. Dimulai dengan sashimi, makanan teruuuuus mengalir tidak pakai berhenti. Berbagai macam menu tersaji silih berganti dan kami pun makan dengan riang gembira. Aku yang sudah mulai terbiasa makan ikan mentah di sini pun sangat menikmati menu-menu yang ada malam itu. Lab-ku ini sangat pengertian terhadap mahasiswa internasional. Setiap ada mahasiswa muslim yang ikut di party, mereka pasti mengkondisikan supaya kami bisa ikut makan. Pemilihan tempat di rumah makan serba sea food benar-benar membuatku nyaman dalam makan, tidak khawatir sama sekali. Lha wong ikannya mentah gak diolah, hahaha. Plus minuman pun gelas alkohol dan gelas non-alkohol tidak pernah digunakan secara bergantian, setiap pemesanan minuman tidak beralkohol selalu menggunakan gelas yang khusus untuk minuman tidak beralkohol. Alhamdulillah.

Setelah seluruh menu keluar, tiba-tiba pramusaji kembali masuk ke dalam bilik kami sambil membawa sebuah kue tart coklat dengan kembang api menyala di atasnya. Lucu sekali. Hari itu secara kebetulan, aku dan momoko-chan (anak baru di lab kami) yang sama-sama berulangtahun duduk bersebelahan dan kebetulan lagi posisi kami tepat di tengah-tengah bilik. Mereka kompak menyanyikan lagu "happy birthday to you" dengan tempo super cepat dan intonasi yang tidak biasa di telingaku. Aku bahagia.


Pamit duluan

Selesai party, kami berjalan menuju tempat bowling. Semua anak lab ikut bermain bowling, sementara aku memutuskan pamit duluan. Waktu sudah menujukkan pukul 21.30, aku ingin pulang dan segera bertemu suami, walau hanya via suara. Hehehe... Maklum, penganten anyar yang langsung LDM ya begini, bawaannya pengen telpon terus. Setelah berfoto bersama, aku ambil sepeda di tempat parkir yang kebetulan tidak jauh dari arena bowling. 

Aku memacu sepeda menuju apato dengan kecepatan normal. Perjalanan ini memakan waktu lebih lama dibandingkan saat berangkat karena kondisi jalan sedikit menanjak. Aku kembali mendapat lampu hijau hampir di semua lampu lalu lintas sehingga sama sekali tidak sempat berhenti dan menengok hp. Sekitar 20 menit setelah aku jalan, akhirnya aku mendapat lampu merah sehingga bisa berhenti sebentar dan mengecek HP. Ternyata suami sudah telepon, hahaha. Kukirim pesan singkat, "maaf baru jalan, lagi lampu merah".


Brakkkkkk!

Lampu menyala hijau, cepat-cepat kumasukkan HPku ke dalam tas dan kembali memacu sepeda. Kali ini aku mengayuh sepedaku sedikit lebih lambat karena kayuhan terasa berat setelah berhenti di jalanan menanjak tadi. Baru enam menit berjalan, tiba-tiba dari belakang terdengar suara mobil melaju sangat kencang, "tiiiin tiiiiin.... braaaaaakkkkk!!!!!"

Spion mobil tersebut menyenggol stang sepedaku. Keseimbanganku hilang, aku oleng ke kanan. Kepalaku membentur mobil yang tengah melaju kencang tersebut, kemudian jatuh dengan posisi setengah menyangga sepeda. "Duh, kepala.... ", batinku panik. Aku sadar, aku harus bangun sendiri. Tidak seperti di Indonesia, di sini orang tidak akan berkeruyuk untuk menolong korban kecelakaan. Semua orang berlalu seperti tidak terjadi apa-apa. Hanya seorang petugas pom bensin yang berdiri mengamatiku dari jauh (hanya mengamati, sama sekali tidak mendekat).

Tidak ada luka serius di bagian tubuh lainnya, hanya saja aku benar-benar panik karena kepalaku terbentur cukup keras. Tiba-tiba aku merasa mual. Aku mendorong sepedaku pelan ke arah pom bensin, petugas yang dari tadi mengamati akhirnya maju beberapa langkah sambil bertanya, "daijoubu desu ka?" (apakah tidak apa-apa?). Aku yang tidak terlalu lancar bahasa Jepang hanya meringis sambil berkata, "atama..." (kepala...). Kulihat seorang anak muda seusiaku berlari-lari ke arahku, sebuah mobil putih terparkir di belakangnya, pintunya terbuka.


Pasca kecelakaan

Anak muda itu ternyata pengemudi mobil yang menyenggolku. "Daijoubu desu ka?", katanya dengan nafas terengah-engah. Aku tidak sanggup menjawab, kepalaku sangat sakit, mual semakin hebat. Aku memberikan kode padanya bahwa kepalaku benjut (Ya Allah aku gak tau bahasa Indonesianya benjut, maafkan) besar sekali. Anak muda itu memegang kepalaku dengan ragu (mungkin karena jilbabku, atau mungkin karena anak Jepang memang tidak biasa bersentuhan dengan lawan jenis walaupun mereka tidak kenal aturan mahram).

Si anak muda langsung sibuk dengan teleponnya, menelepon entah siapa. Aku hanya sempat mendengar kata "jitensha" (sepeda), "kuruma" (mobil), dan "sugoi" (hebat). Entah karena aku sudah tidak sanggup mendengarnya bicara atau karena Bahasa Jepangku yang memang payah, aku tidak tau, hahaha. Pada akhirnya aku tau bahwa si anak muda tersebut menelepon polisi dan ambulan. Aku menikmati rasa sakit di kepalaku sambil terus beristighfar. Kubuka HP, kulihat suami sudah kembali menelepon, kukirim chat singkat, "aku diserempet mobil ngebut. Kepalaku sakit". 

Sesaat kemudian aku lihat mobil polisi datang dari arah selatan dan mobil ambulan datang dari arah barat. Bersamaan dengan itu aku membuka chat dari Ayu, tetangga kamarku di apato, "Mbak pulang kapan? Mbak Tari minta kerokan" yang kutahu sebagai alasannya untuk memberikan surprise ulangtahun, hahaha. Kubalas, "Ayu aku diserempet mobil ngebut, di pom bensin dekat tengoku, bateraiku tinggal 7%. Tolong kabari mbak indri". Mbak Indri, tetangga kami di apato yang bisa berbahasa Jepang jauh lebih baik dibandingkan kami. Aku tau, urusan dengan polisi, ambulan, rumah sakit maupun dengan penabrak ini akan runyam kalau tidak ada yang bisa berbahasa Jepang.

Suamiku menelepon berkali-kali, panik, aku tau. Sempat kuangkat sekali, tapi rasanya beraaat dan sakit kepalaku dipakai bicara. Akhirnya kubiarkan saja telepon darinya. Badanku diangkat masuk ke dalam ambulan. Aku menunggu cukup lama, polisi dan petugas ambulan bertanya data diriku dalam bahasa Jepang, kujawab sebisanya. Cukup terbantu dengan residence card yang kubawa selalu kemanapun. Giliran petugas ambulan bertanya tentang riwayat sakit, alergi, obat, dan keluhan saat itu aku hanya bisa menjawab, "wakaranai" (aku tidak tau), "Allahu robbiii.... aku tidak tau harus menjawab apaaaa... gimana cara ngomongnyaaa...", batinku dalam hati. Saat polisi bertanya kronologis kejadian pun aku hanya bisa menjawab, "aaah... etooo...." kemudian menggerak-gerakkan tangan sebagai isyarat kronologis kejadian. Polisi mengambil kertas HVS kemudian menggambar kejadian sesuai yang kuceritakan melalui isyarat tangan. Selesai menggambar, ia sodorkan kertas itu padaku, aku mengangguk tanda membenarkan gambar pak polisi tersebut.


Rumah sakit dan segala perniknya

Ayu, Mas Taufik dan Mbak Tari datang ke tempat kejadian perkara tidak terlalu lama sejak badanku dipindahkan ke dalam ambulan. Kuserahkan HPku ke Mas Taufik kalau-kalau suami telpon kembali, tapi ternyata HPku sudah mati. Kepalaku semakin sakit, aku mulai menangis sambil istighfar. Setelah mendapat kyuu kyuu byouin (rumah sakit gawat darurat) yang kosong, ambulan siap-siap berjalan pergi, namun karena pom bensin tempat kami berada saat itu hanya mau menyimpan sepedaku saja, maka Mbak Tari dan Mas Taufik memutuskan mengikuti ambulan menggunakan sepeda, sementara Ayu dan sepedanya ikut di dalam ambulan.

Sesampainya di Ehime Seikyou Byouin, aku segera ditangani dokter dan langsung menjalani serangkaian pemeriksaan seperti CT-scan dan X-ray. Aku terus menerus berdoa dan berpasrah, "segala apapun yang terjadi ini pasti atas izinMu, maka hamba berpasrah kepadaMu." Aku sedikit khawatir harus mengeluarkan uang cukup besar karena yang kutahu biaya kesehatan di Jepang luar biasa mahalnya. Sementara... uang di rekeningku sudah sangat menipis pasca menikah kemarin.

Ehime Seikyou byouin
Sumber: http://www.e-seikyo-hp.jp/about/introduction/gaikan02.png

Selesai CT-scan dan X-ray, aku menunggu di UGD. Setelah dinyatakan semua baik-baik saja dan dibolehkan pulang, aku segera pulang diantarkan Bu Erni (yang super jago bahasa Jepang karena sudah puluhan tahun tinggal di sini dan tengah malam ditelepon oleh Mbak Indri dimintai tolong kalau-kalau butuh mengurus administrasi-yang so pasti full kanji, sumimaseeeen ibuuuu).

Malam itu aku tidak mengeluarkan biaya apapun, sepertinya anak muda itu yang membayarkan. Dia sempat datang dan meminta maaf kembali ketika di rumah sakit.


Kado permintaan maaf dan kedatangan petugas asuransi

Esok siangnya aku kembali datang ke laboratorium, izin terlambat ke sensei. Aku berangkat dan pulang naik bis karena sepedaku belum kuambil. Naik bis memang terkesan tidak lebih melelahkan dibandingkan naik sepeda pp 4.5 km apato-kampus. Tapi kenyataannya, tempat naik maupun turun bisnya sama-sama jauh dari apato maupun kampus, sehingga aku harus jalan kaki dengan jarak tempuh yang lumayan. Setelah dipakai jalan kaki itu, aku kembali merasa sakit di kepala. Aku tau, badanku belum benar-benar pulih. Sesampainya di apato aku mampir ke kamar Mbak Indri karena suaminya mengabariku bahwa si penabrak datang ke apato membawa titipan untukku. Segera aku naik ke kamarku untuk mengganti baju yang basah terkena air hujan sepanjang perjalanan. Pusing masih terasa.

Tidak lama kemudian aku turun kembali karena dikabari Mbak Indri ada petugas asuransi menunggu di bawah. Kupikir petugas asuransi kesehatan nasional milik pemerintah atau justru petugas asuransi kesehatan kampus yang memang aku terdaftar di dalamnya. Ternyata petugas ini adalah petugas asuransi dari mobil milik masnya yang menabrak.

Aku baru tau, bahwa di Jepang, para pemilik mobil mengasuransikan mobilnya tidak hanya untuk mobilnya sendiri namun juga untuk jaga-jaga sewaktu-waktu mobilnya membuat celaka orang lain. Setelah dijelaskan panjang lebar oleh bapak petugas asuransi (tentu saja dengan bantuan translate dari Mbak Indri), aku baru tau bahwa seluruh biaya pengobatanku, seluruhnya, termasuk transportasi yang harus kukeluarkan dari apato ke rumah sakit maupun sebaliknya, semua ditanggung oleh pihak asuransi sampai aku dinyatakan sehat dan kembali pulih seperti sedia kala.  

Alhamdulillah...


Takjub

Sampai hari ini, aku masih takjub dengan pengalaman kecelakaan beberapa hari lalu tersebut. Tentu aku tidak mau mengalami lagi. Mau biaya dicover juga namanya sakit tetap saja sakit, hahaha. Hanya saja, aku masih takjub dengan reaksi sang penabrak maupun pihak-pihak lain yang terlibat pasca kecelakaan tersebut.

Keheranan terbesarku yang sampai saat ini masih sukses membuatku tertawa sendiri adalah si anak muda yang menyenggol mobilku itu menelepon sendiri polisi yang akhirnya menghukuminya atas pelanggaran batas kecepatan. Hahahaha. Kalau di Indonesia mah yang ada, "ini ada uang sekedarnya untuk berobat, kita damai ya", sebisa mungkin jangan sampai berurusan dengan polisi, ya gak? Hahaha. Sikap anak muda tersebut sangat ksatria bukan? Aku tidak tau apakah semua orang Jepang bersikap seperti anak muda tersebut ketika terjadi kecelakaan. Mungkin saja tidak, tapi bisa jadi iya.

Aku juga takjub dengan kecepatan dan ketepatan penanganan yang dilakukan oleh polisi, ambulan dan rumah sakit, selain juga cukup takjub adanya asuransi yang mengcover seluruh pembiayaan pemulihan kesehatan dari asuransi mobilnya. Fasilitas di dalam ambulan pun cukup "wow", tapi karena hari itu adalah kali pertama (dan semoga terakhir) kali aku naik ambulan, maka aku tidak bisa membandingkan dengan fasilitas dengan ambulan di tempat lain.

Tapi setakjub-takjubnya, tentu aku jauh lebih berharap agar kejadian ini tidak akan pernah terulang kembali. Semoga sisa waktuku di Jepang semakin berkah, lancar dan selalu disehatkan serta dikuatkan. Selesai program riset dengan cepat, tepat, dan menghasilkan hasil yang excellent, agar bisa segera pulang ke Indonesia dengan bahagia dan bertemu suami tercinta juga keluarga yang sangat, sangat, sangat kusayangi.


Matsuyama, 11 September 2017
Ardhika Ulfah

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Ps. Tulisan ini dibuat semata-mata untuk sharing pengalaman, sekaligus mengabadikan momen hidup. Sama sekali tidak ada niat membanding-bandingkan penanganan kecelakaan di Jepang dan Indonesia. Jika ada yang baik, mari kita jadikan teladan bersama. Jika ada yang kurang baik, maka mari bersama belajar memaklumi perbedaan.

5 komentar:

  1. Kalo di Indonesia sih plg nelpon ambulan aj. Nelpon polisi dah takut bakalan makin runyam aj. Hihi..
    Asuransinya keren ya. Preminya brp tuh coveragenya luas gt..

    Btw, cepet sembuh ya Peh..

    BalasHapus
    Balasan
    1. aamiin... makasih banyak mbaaak... gak tau deh preminya berapaa

      Hapus
  2. Experience is the best teacher, sukses selalu buat dek Ulfah, :-)

    BalasHapus
  3. Saya malah gagal fokus sma orang yang nabrak mau langsung bantu, dan salut sama cowoknya yang tetep menjaga sentuhannya ...

    cek my last post : http://www.randasaputra.com/kursus-online-belajar

    BalasHapus