Fokus Diri dan Ilmu yang Ingin Dipelajari dalam Hidup: Sebuah Renungan



Sejak sebelum berangkat ke Jepang aku sudah meniatkan diri untuk memanfaatkan kesempatan pertama merantau ini sebagai masa belajar sekaligus persiapan untuk menjadi istri dan ibu (yang entah kapan akan diberi kesempatan itu, tapi harus diupayakan dengan sebaik-baik ikhtiar dong ya). Mulai dari belajar masak setiap hari dengan bumbu-bumbu yang terbatas (ada sih yang jual bumbu masakan komplit, tapi mahalnyaaaa), belajar untuk lebih rapi dalam segala hal dari mulai rapi-rapi kamar sampai merapikan manajemen waktu, hingga belajar secara serius terkait persiapan memasuki fase tersebut melalui program matrikulasi yang diselenggarakan oleh institut ibu profesional. Semoga bisa istiqomah dalam belajar di program matrikulasi ini sehingga bisa masuk ke tahap-tahap berikutnya nantinya. 

Tulisan ini merupakan hasil merenung lama untuk menjawab pertanyaan dari tugas pertama yang diberikan di program matrikulasi IIP pada materi Adab Menuntut Ilmu. Tugasnya berupa pertanyaan-pertanyaan yang membuatku merenungi lagi hidup seperti apa yang aku inginkan. Hasilnya, aku kembali membulatkan tekad (yang sudah bulat semakin bulat, hehehe) untuk menghabiskan sisa hidup ini sebagai seorang pendidik, baik di rumah maupun di luar rumah. Aku menyadari bahwa bekal yang kumiliki saat ini masih jauh dari cukup. Oleh karenanya, aku perlu menambah bekal untuk mengarungi perjalanan kehidupan yang sangat panjang dan tidak tau di mana ujungnya tersebut. Sebenarnya ada banyak sekali cabang ilmu yang harus dipelajari, namun, ada satu ilmu yang ingin kupelajari hingga mendalam, bukan hanya dipelajari dari buku-buku dan kuliah namun juga dengan cara memaknai peristiwa, fenomena dan alam semesta yang ada di sekitarku.


Satu bidang ilmu yang ingin ditekuni dalam universitas kehidupan

Bidang yang ingin kujadikan fokus belajar dalam hidup ini adalah ilmu dan seni mendidik, baik secara teoritis maupun -seperti yang kubilang sebelumnya- hasil pemaknaan dari apa yang ada di sekitar. Aku memang belum pernah mempelajari ilmu pendidikan secara profesional, dalam artian hadir di kuliah-kuliah bertema pendidikan atau membaca diktat-diktat terkait pendidikan. Aku -sebatas yang aku yakini- masih dalam tahapan mengumpulkan ilmu-ilmu yang nantinya ingin kuteruskan pada anak-anakku, baik anak biologis maupun anak-anak didik nantinya. Bahwa nyicil belajar untuk mengajar memang betul sudah dilakukan, namun medidik bukan hanya sekedar perkara mengajar, sehingga aku butuh untuk mempertajam pengetahuan dan pemahamanku terkait hal ini sebelum nantinya mengaplikasikannya langsung di hidupku. Bukankah ilmu adalah prasyarat untuk sebuah amal?


Mengapa harus belajar ilmu tersebut?

Sebuah amalan akan menjadi sia-sia jika tidak dilandasi dengan ilmu, pun ilmu akan menjadi tidak ada manfaatnya ketika tidak diamalkan. Sehingga, ketika kita sudah meniatkan diri ingin melakukan sesuatu dalam hidup ini, kita harus membekali diri dengan ilmu-ilmu yang memang relevan dengan apa yang ingin kita lakukan. Selama masa pencarian ilmu tersebut kita juga harus terus menerus meluruskan niat agar ilmu yang kita peroleh dapat benar-benar bermanfaat. Mempelajari ilmu dan seni mendidik akan sangat kubutuhkan sebelum maupun setelah aku benar-benar menjadi seorang pendidik, baik dalam keluarga, karir profesional, ataupun masyarakat.


Strategi belajar seumur hidup

Sebelum mendidik orang lain, yang pertama-tama harus dididik adalah diriku sendiri. Maka, dalam mengumpulkan ilmu yang ingin terus kupelajari seumur hidup ini yang pertama harus kubangun adalah niat yang lurus dan kuat. Niat yang selalu dijaga kemurniannya inilah yang menjadi driving force-ku untuk terus istiqomah dalam mencari ilmu. Setelah niat tertanam kuat, langkah berikutnya adalah mencari guru dan sumber ilmu.

Dalam filosofi Jawa, guru adalah "digugu lan ditiru" atau dalam bahasa indonesianya adalah dipatuhi (segala ucapan dan perintahnya dapat dipercaya) dan diteladani. Oleh karenanya, mencari guru artinya mencari sosok panutan yang kompeten dalam bidangnya dan dapat menjadi suri tauladan yang baik. Guru bisa siapa saja, selama dia kompeten dan bisa dijadikan teladan.

Di era internet seperti hari ini, sumber ilmu bisa didapat dari mana saja. Hanya saja, harus berhati-hati dalam memilah dan memilih sumber ilmu. Itu jugalah yang menjadi salah satu alasan pentingnya kehadiran seorang guru: untuk meluruskan ilmu yang kita dapat dari berbagai sumber ilmu.

Setelah niat, guru, dan sumber ilmu sudah didapatkan, maka yang kulakukan berikutnya adalah mendidik diri sendiri untuk terus dan terus disiplin, rajin, rapi dan persistent serta terus menerus memaknai setiap peristiwa yang ada di alam semesta ini. Tanpa adanya kedisiplinan yang lahir dari dalam diri, mustahil bisa terus istiqomah dalam belajar. 頑張る!!


Perubahan sikap yang perlu diperbaiki dalam mencari ilmu

Setelah materi adab menuntut ilmu di program matrikulasi ini disampaikan, aku merasa benar-benar kerdil. Sampai benar-benar keluar dari mulutku kalimat ini, "Masyaallah, kamu ke mana aja Fah selama ini, udah sampai master kok baru belajar ini sekarang. Telat Fah, telat". Sebelum mengikuti program matrikulasi ini, sudah beberapa kali aku dihadapkan pada kelas yang menyodorkan materi adab menuntut ilmu. Tapi, pikiran dan hatiku selalu melayang-layang entah di mana, sama sekali belum pernah merasuk ke dalam hati. Mungkin karena hatiku belum benar-benar hadir dalam majelis ilmu tersebut. Ini menjadi evaluasi besar bagiku, karena aku sadar sepenuhnya bahwa sikap ini akan sangat menghambatku dalam mencari ilmu apabila diteruskan.

Aku tertohok dengan sebuah kalimat dalam materi adab menuntut ilmu. Kalimat tersebut adalah:


Ilmu itu bukan rentetan kalimat dan tulisan saja, 
melainkan ilmu itu adalah “cahaya” yang dimasukkan ke dalam hati. 

Sehingga, selama hati belum kita bersihkan dari hal-hal yang buruk, maka ilmu akan sulit masuk ke dalam hati. Yang terjadi adalah ilmu tersebut hanya akan lewat saja, masuk telinga, nyantol di otak sebentar, nanti selepas ujian lupa lagi (hahahahahaa, astaghfirullahal'adziim). Maka, menyiapkan hati untuk menuntut ilmu adalah sebuah poin penting yang harus kuperbaiki agar ilmu tersebut dapat tinggal dan menetap dalam hati hingga ajal menjemput.

Selain perkara hati, hal lain yang wajib kuperbaiki adalah manajemen waktu. Semangatku dalam mencari ilmu mungkin memang sudah cukup besar, namun apa artinya jika semangat itu tidak dibarengi dengan pengaturan waktu yang baik. Datang terlambat di kelas, duduk depan sendiri bukan karena pilihan tapi karena keadaan (duh!), apalagi kalau kajian offline, suka malas scrolling kalau sudah tertumpuk chat (terus skip materinya -_- duh Fah). Ini juga menjadi evaluasi besar untukku, bismillah diperbaiki mulai sekarang!!

Satu sikap lagi yang harus kuperbaiki dalam mencari ilmu, yaitu mengulang-ulang kembali sebuah ilmu yang sedang dipelajari. Kadangkala, karena kesibukan (halah alasan, bilang aja males -_-) aku jarang sekali membaca ulang ilmu yang kupelajari. Baru akan kubaca kembali ketika mendapat tugas ataupun akan ujian (duh!). Padahal salah satu kunci sukses belajar adalah mengulang-ulang terus materi yang didapatkan sehingga tertanam kuat di kepala dan hati. Hm~ bismillah diperbaiki mulai sekarang!!

Sikap lain yang sedang dalam proses kuperbaiki dan kupelajari adalah bagaimana bersikap kepada guru atau penyampai ilmu. Bagaimana menempatkan diri di hadapan guru dan bagaimana berkhidmat kepada guru. Bagaimanapun, ridho guru terhadap kita juga akan mempengaruhi banyak sedikitnya ilmu yang dapat kita serap dari beliau. Juga kepada sumber ilmu, bagaimana memperlakukan sumber ilmu dengan cara-cara yang baik, tidak sembarang letak (nanti lupa lagi naruh di mana terus hilang - kan jadi susah mau lanjut belajar lagi) dan tidak sembarang pegang (nanti kalau rusak juga susah lagi mau belajar).

Banyak ya yang harus diperbaiki? Bismillah niat karena Allah ta'ala. Belajar bukan hanya untuk dirimu sendiri, namun juga untuk orang lain di sekitarmu. Semangat!



Matsuyama, 19 Mei 2017
Ardhika Ulfah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar